“BERI CINTA” Bersih, Hijau, Berciri dan Ber-estetika, sehingga tercipta masyarakat Kota Siantar Mantap, Maju dan Jaya.
Visi : "TERWUJUDNYA MASYARAKAT KOTA PEMATANGSIANTAR YANG BERBUDAYA, SEHAT,SOPAN DAN RAMAH"

Kamis, 28 Oktober 2010

Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke_82 Kota Pematangsiantar


Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke_82 Kota Pematangsiantar, diperingati pada hari Kamis, 28 Oktober 2010, pada Pukul 08.00 Wib, dengan peserta upacara lebih kurang 2.000 orang, bertempat di Lapangan Haji Adam Malik Pematangsiantar, Sebagai pembina upacara Wakil Walikota Pematangsiantar Bapak Drs.KONI ISMAIL SIREGAR, membacakan sambutan Kemenegpora Republik indonesia..

SAMBUTAN
MENTERI NEGARA PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA
PADA HARI SUMPAH PEMUDA KE - 82 TAHUN 2010

HADIRIN YANG BERBAHAGIA,
PERINGATAN HSP KE - 82, INI KIRANYA MENJADI MEDIUM UNTUK MENGGELORAKAN SEMANGAT PEMUDA DALAM MENGINSPIRASI DAN MENGGERAKKAN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA PEMUDA INDONESIA. DENGAN BERBEKALKAN SEMANGAT JUANG DAN IDEALISME YANG TINGGI, PARA PEMUDA INDONESIA TELAH MEMBUAT CATATAN SEJARAH GEMILANG SEJAK ZAMAN PERGERAKAN KEMERDEKAAN, SESAMA KEMERDEKAAN DAN PASCA KEMERDEKAAN HINGGA DIERA REFORMASI SEKARANG INI. BERMODALKAN SEMANGAT MUDA, PARA PEMUDA TELAH MENAPAKKAN JEJAK - JEJAK PERJUANGAN YANG DALAM PERIODE KELAHIRAN NEGARA BANGSA INDONESIA. HAL MANA DAPAT KITA SIMAK DARI SERANGKAIAN PERISTIWA BERSEJARAH ANTARA LAIN GERAKAN KEBANGSAAN BUDI UTOMO 1908, SUMPAH PEMUDA 1928, PROKLAMASI KEMERDEKAAN 1945, GERAKAN PERUBAHAN 1966, DAN GERAKAN REFORMASI 1998. DARI SERANGKAIAN PERISTIWA BERSEJARAH YANG DIKONTRIBUSIKAN OLEH PERJUANGAN PARA PEMUDA, HARUS KITA AKUI BAHWA PERISTIWA SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 1928 MERUPAKAN PERISTIWA TERPENTING BERMAKNA KRUSIAL, MENGINGAT PADA PERISTIWA INILAH PARA PEMUDA BERHASIL MENYATUKAN, TIDAK HANYA VISI, TETAPI JUGA CITA – CITA MENGENAI PERSATUAN INDONESIA MELALUI TIGA BUTIR SUMPAH ATAU IKRAR YAKNI SATU NUSA, SATU BANGSA, DAN SATU BAHASA YAKNI INDONESIA. HENDAKNYA KITA MAKNAI BAHWA SUMPAH PEMUDA MERUPAKAN DEKLARASI MENGENAI KESEPAKATAN SOSIAL TENTANG KEINDONESIAAN. BAHWA “KESEPAKATAN SOSIAL” INILAH YANG KEMUDIAN MENEMUKAN MOMENTUM IKUTANNYA MELALUI “KESEPAKATAN POLITIK” PARA PENDIRI BANGSA PADA PERISTIWA PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945 YANG MELAHIRKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) YANG BERBASIS PADA PANCASILA, UUD 1945 DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA.
HADIRIN YANG BERBAHAGIA,
PADA KESEMPATAN INI, MELALUI MOMENTUM PERINGATAN HSP KE – 82, SAYA MENGAJAK SEMUA KOMPONEN BANGSA KHUSUSNYA PARA PEMUDA, UNTUK TERUS BERIKHTIAR DAN BERJUANG MENGUATKAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA DI SEGALA BIDANG PENGABDIAN. PERISTIWA SUMPAH PEMUDA PADA TANGGAL 28 OKTOBER 1928 SILAM, SESUNGGUHNYA MENGAJARKAN KEPADA KITA TENTANG UPAYA MELAHIRKAN HADIRNYA SEBUAH NEGARA – NEGARA INDONESIA YANG BERKARAKTER, YAKNI DENGAN MELETAKKAN SEMANGAT PERSATUAN SEBAGAI PIJAKAN
DASARNYA. HANYA DENGAN PERSATUAN PULA BANGSA KITA DAPAT BERGERAK MAJU SEJAJAR DENGAN BANGSA – BANGSA LAIN DI DUNIA. DALAM KONTEKS KEKINIAN, PENGUATAN KARAKTER BANGSA DAPAT DIIMPELEMENTASIKAN MELALUI BERBAGAI BIDANG PEMBANGUNAN TAK TERKECUALI BIDANG KEPEMUDAAN. TERKAIT DENGAN UPAYA UNTUK MEMBENTUK DAN MENGUATKAN KARAKTER PEMUDA MAKA ADA BAIKNYA PARA PEMUDA MELIBATKAN DIRI DALAM KEGIATAN – KEGIATAN YANG BERNUANSA KEPEMIMPINAN SEPERTI AKTIVITAS BERORGANISASI DAN GERAKAN KEPANDUAN. MELALUI KEGIATAN SEPERTI KEPANDUAN, PEMUDA MEMILIKI KESEMPATAN UNTUK MEMUPUK KEMANDIRIAN, MENAMBAH KETERAMPILAN, DAN MEMPERKUAT KARAKTER INDIVIDU SEBAGAI WARGA NEGARA. OLEH KARNA ITU, TEMA BESAR YANG DIUSUNG PADA PERINGATAN HSP KE – 82 INI ADALAH “BANGUN KARAKTER PEMUDA DEMI BANGSA INDONESIA YANG MAJU DAN BERMARTABAT”. PENETAPAN TEMA TERSEBUT MEMBAWA PESAN BAHWA KITA BANGSA INDONESIA HARUS SENANTIASA KONSISTEN DENGAN UPAYA – UPAYA MEMBANGUN KARAKTER HINGGA KARAKTER TERSEBUT BENAR – BENAR MANJADI CIRI KHAS PEMUDA INDONESIA.
HADIRIN YANG BERBAHAGIA,
BETAPA PENTINGNYA PEMBANGUNAN KEPEMUDAAN BAGI MASA DEPAN SUATU BANGSA, OLEH KARENANYA KITA MESTI MELETAKKAN PEMUDA SEBAGAI BAGIAN UTAMA ATAU SEBAGAI ARUS UTAMA PEMBANGUNAN NASIONAL. DENGAN KATA LAIN, KITA MEMERLUKAN PRAKSIS “PENGARUSUTAMAAN PEMUDA” GUNA MENGAKSELERASI KEMAJUAN PEMBANGUNAN NASIONAL. DENGAN MEMPERKUAT PRAKSIS PENGARUSUTAMAAN PEMUDA, MAKA KITA TELAH MELETAKKAN POSISI DAN PERAN PEMUDA PADA PORSI YANG STRATEGIS BANGSA. HARUS DIIKUTI BAHWA SECARA KUANTITATIF MAUPUN KUALITATIF PEMUDA MERUPAKAN POTENSI STRATEGIS BANGSA. SESUNGGUHNYA, DENGAN INDONESIA AKAN LEBIH CEPAT PULA MENGGAPAI MASA DEPANNYA YANG MAJU DAN BERMARTABAT.
PENGUATAN PRAKSIS PENGARUSUTAMAAN PEMUDA MENEMUKAN KORELASINYA SECARA FILOSOFI, SOSIOLOGIS, MAUPUN YURIDIS DENGAN KEBERADAAN UNDANG – UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2009 TENTANG KEPEMUDAAN, YANG MENGAMANATKAN KEPADA PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH, MASYARAKAT DAN ORGANISASI KEPEMUDAAN YANG MENYENTUH ASPEK PENYADARAN, PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN PEMUDA.
DAN INSYA ALLAH TAHUN INI JUGA KEMENTERIAN PEMUDA DAN OLAHRAGA BERSAMA DPR-R.I. SEDANG MEMPERSIAPKAN RUU TENTANG KEPRAMUKAAN. KITA HARAPKAN DENGAN TERBITNYA UNDANG – UNDANG KEPRAMUKAAN AKAN MAMPU MEWUJUDKAN REVITALISASI GERAKAN KEPRAMUKAAN.
HADIRIN YANG BERBAGIA,
DALAM PERINGATAN HSP KE-82 TAHUN 2010 ADA 2 (DUA) RANGKAIAN KEGIATAN BESAR. PERTAMA, BULAN BHAKTI PEMUDA INDONESIA YANG BERISI KEGIATAN, ANTARA LAIN : BHAKTI SOSIAL, APEL KEBANGSAAN PEMUDA DAN MAHASISWA INDONESIA, DAN KEMAH KEPEMIMPINAN PEMUDA INDONESIA. KEDUA, PEKAN PERINGATAN HARI SUMPAH PEMUDA YANG BERISI KEGIATAN, ANTAR LAIN : PAGELARAN WAYANG PEMUDA, SEMINAR NASIONAL TENTANG KEPEMIMPINAN PEMUDA, PERTANDINGAN OLAHRAGA ANTAR ORGANISASI KEPEMUDAAN SERTA PEMBERIAN PENGHARGAAN KEPADA PEMUDA, TOKOH, PIMPINAN LEMBAGA YANG BERPRESTASI DALAM MEMBANGUN KEPEMUDAAN.
AKHIRNYA, DENGAN MEMANJATKAN RASA SYUKUR KEPADA ALLAH S.W.T. TUHAN YANG MAHA KUASA, SAYA MENGUCAPKAN SELAMAT MEMPERINGATI HARI SUMPAH PEMUDA KE – 82, SEMOGA DENGAN INI SEGENAP PEMUDA INDONESIA KEMBALI MENEMUKAN INSPIRASI DAN ROH KEJUANGANNYA UNTUK MENITI KEMAJUAN PERADAPAN BANGSA. DIRGAHAYU PEMUDA INDONESIA
BILAHIT TAUFIK WAL HIDAYAH WASSALAMU’ALAIKUMWARAHMATULLAHI WABARAKATUH

Jakarta, 28 Oktober 2010
Menteri Negara Pemuda dan Olahraga,

Dr. Andi A. Mallarangeng

Jumat, 15 Oktober 2010

Undang_Undang Pers

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG P E R S

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan
rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis,
sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin;
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat
sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi
manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum,
dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar
informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak,
kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan
pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan
hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun;
d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan
Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4
Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982
sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 28 Undangundang
Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan :
1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang
melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan,
suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk
lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran
yang tersedia.
2. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha
pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta
perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan,
atau menyalurkan informasi.
3. Kantor berita adalah perusahaan pers yang melayani media cetak, media
elektronik, atau media lainnya serta masyarakat umum dalam memperoleh informasi.
4. Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
5. Organisasi pers adalah organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.
6. Pers nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia.
7. Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan asing.
8. Penyensoran adalah penghapusan secara paksa sebagian atau seluruh materi
informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau
peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban
melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
9. Pembredelan atau pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan
peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum.
10. Hak Tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak
mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya.
11. Hak Jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
12. Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan
kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
13. Kewajiban Koreksi adalah keharusan melakukan koreksi atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
14. Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.
BAB II
ASAS, FUNGSI, HAK, KEWAJIBAN DAN
PERANAN PERS
Pasal 2
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsipprinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pasal 3
1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,dan kontrol sosial.
2. Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pasal 4
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Pasal 5
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan
menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Tolak.
Pasal 6
Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan
Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
BAB III
WARTAWAN
Pasal 7
1. Wartawan bebas memilih organisasi wartawan.
2. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Pasal 8
Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
BAB IV
PERUSAHAAN PERS
Pasal 9
1. Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
2. Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pasal 10
Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers
dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.
Pasal 12
Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara
terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.
Pasal 13
Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :
a. yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan
hidup antar umat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat;
b. minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.
Pasal 14
Untuk mengembangkan pemberitaan ke dalam dan ke luar negeri, setiap warga negara Indonesia dan negara dapat mendirikan kantor berita.
BAB V
DEWAN PERS
Pasal 15
1. Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen.
2. Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
d. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah;
e. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
f. mendata perusahaan pers;
3. Anggota Dewan Pers terdiri dari :
a. wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b. pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c. tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers;
4. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers dipilih dari dan oleh anggota.
5. Keanggotaan Dewan Pers sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Presiden.
6. Keanggotaan Dewan Pers berlaku untuk masa tiga tahun dan sesudah itu hanya dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya.
7. Sumber pembiayaan Dewan Pers berasal dari :
a. organisasi pers;
b. perusahaan pers;
c. bantuan dari negara dan bantuan lain yang tidak mengikat.
BAB VI
PERS ASING
Pasal 16
Peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di
Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 17
1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan
teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 18
1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus juta rupiah).
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 19
1. Dengan berlakunya undang-undang ini segala peraturan perundang-undangan di bidang pers yang berlaku serta badan atau lembaga yang ada tetap berlaku atau tetap menjalankan fungsinya sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan undang-undang ini.
2. Perusahaan pers yang sudah ada sebelum diundangkannya undang-undang ini, wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan undang-undang ini dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2815) yang telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia);
2. Undang-undang Nomor 4 PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap
Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533), Pasal 2 ayat (3) sepanjang menyangkut ketentuan mengenai buletin-buletin, surat-surat kabar harian, majalah-majalah, dan
penerbitan-penerbitan berkala; Dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 21
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 September 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MULADI
Salinan sesuai dengan aslinya.
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan II
PR
Edy Sudibyo
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG
P E R S
I. UMUM
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud. Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor:
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan
pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati
hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.
Kontrol masyarakat dimaksud antara lain : oleh setiap orang dengan dijaminnya
Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti
pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara.
Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.
Pasal 4
Ayat 1
Yang dimaksud dengan "kemerdekaan pers dijamin sebagai hak
asasi warga negara" adalah bahwa pers bebas dari tindakan
pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak
masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.
Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan
pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh
pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik
Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
Ayat 2
Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan
merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Tujuan utama Hak Tolak adalah agar wartawan dapat
melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak
menyebutkan identitas sumber informasi.
Hal tersebut dapat digunakan jika wartawan dimintai keterangan oleh
pejabat penyidik dan atau diminta menjadi saksi di
pengadilan.
Hak tolak dapat dibatalkan demi kepentingan dan keselamatan negara atau ketertiban umum yang dinyatakan oleh pengadilan.
Pasal 5
Ayat 1
Pers nasional dalam menyiarkan informasi, tidak menghakimi atau
membuat kesimpulan kesalahan seseorang, terlebih lagi untuk kasuskasus
yang masih dalam proses peradilan, serta dapat
mengakomodasikan kepentingan semua pihak yang terkait dalam pemberitaan tersebut.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 6
Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak
masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan
menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong
ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib.
Pasal 7
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Yang dimaksud dengan "Kode Etik Jurnalistik" adalah kode etik yang
disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Pasal 8
Yang dimaksud dengan “perlindungan hukum” adalah jaminan perlindungan
Pemerintah dan atau masyarakat kepada wartawan dalam melaksanakan fungsi,
hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 9
Ayat 1
Setiap warga negara Indonesia berhak atas kesempatan yang sama
untuk bekerja sesuai dengan Hak Asasi Manusia, termasuk
mendirikan perusahaan pers sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pers nasional mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh
karena itu negara dapat mendirikan perusahaan pers dengan membentuk
lembaga atau badan usaha untuk menyelenggarakan usaha pers.
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "bentuk kesejahteraan lainnya" adalah peningkatan gaji,
bonus, pemberian asuransi dan lain-lain.
Pemberian kesejahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara
manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.
Pasal 11
Penambahan modal asing pada perusahaan pers dibatasi agar tidak
mencapai saham mayoritas dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 12
Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara :
a. media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung jawab penerbitan serta nama dan alamat percetakan;
b. media elektronik menyiarkan nama, alamat, dan penanggungjawabnya pada awal atau akhir setiap siaran karya jurnalistik;
c. media lainnya menyesuaikan dengan bentuk, sifat dan karakter media yang bersangkutan.
Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. Yang dimaksud dengan "penanggung jawab" adalah penanggung jawab
perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.
Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana pengamat ketentuan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat 1
Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional.
Ayat 2
Pertimbangan atas pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d adalah yang berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Untuk melaksanakan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga atau organisasi pemantau media (media watch).
Pasal 18
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers,
maka perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 12.
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3887

Kamis, 14 Oktober 2010

Permen_Kebudayaan

PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
NOMOR : PM.34/HM.001/MKP/2008
TENTANG
PENGAMANAN OBJEK VITAL NASIONAL
DI BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA,

Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 3 Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional dan dalam rangka mengantisipasi ancaman dan gangguan terhadap objek vital nasional di bidang kebudayaan dan pariwisata, perlu
menetapkan Peraturan Menteri mengenai pengamanan objek vital nasional di bidang kebudayaan dan pariwisata;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3427);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3470);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699);
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4169);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3856); 2
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional;
7.Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 mengenai Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 77/P Tahun 2007;
8. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.17/HK.001/MKP-2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.07/HK.001/MKP-2007;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARWISATA
TENTANG PENGAMANAN OBJEK VITAL NASIONAL DI
BIDANG KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA.
PERTAMA : Objek vital nasional bidang kebudayaan dan pariwisata selanjutnya disingkat Obvitnas Budpar yang prioritas mendapat pengamanan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
KEDUA : Pengelola Obvitnas Budpar sebagaimana tersebut dalam Lampiran Peraturan Menteri ini bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengamanan internal di lokasi masing-masing.
KETIGA : Pengelola Obvitnas Budpar sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUA bersama Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan konfigurasi standar pengamanan meliputi kekuatan personil beserta sarana prasarana pengamanannya.
KEEMPAT : Pengelola Obvitnas Budpar dalam pelaksanaan pengamanan internal wajib memenuhi standar kualitas atau kemampuan yang ditetapkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia serta mempertimbangkan masukan dari departemen/instansi terkait
dan ketentuan internasional yang berlaku.
KELIMA : Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 September 2008
MENTERI KEBUDAYAAN DAN PARWISATA,
Ir. JERO WACIK, SE

Rabu, 13 Oktober 2010

Undang_Undang Kepariwisataan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2009
TENTANG KEPARIWISATAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan
purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya
yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber
daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk
peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kebebasan melakukan perjalanan dan
memanfaatkan waktu luang dalam wujud berwisata
merupakan bagian dari hak asasi manusia;
c. bahwa kepariwisataan merupakan bagian integral
dari pembangunan nasional yang dilakukan secara
sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan
bertanggung jawab dengan tetap memberikan
perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya
yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu
lingkungan hidup, serta kepentingan nasional;
d. bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan
untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha
dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi
tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan
global;
e. bahwa . . .

- 2 -
e. bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990
tentang Kepariwisataan tidak sesuai lagi dengan
tuntutan dan perkembangan kepariwisataan
sehingga perlu diganti;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Kepariwisataan;
Mengingat : Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEPARIWISATAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi,
pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka
waktu sementara.
2. Wisatawan . . .

- 3 -
2. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
3. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah,dan Pemerintah Daerah.
4. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama
wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
5. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
6. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif
yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
7. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata.
8. Pengusaha Pariwisata adalah orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata.
9. Industri . . .

- 4 -
9. Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan
kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
10. Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang
mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
11. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata untuk
mengembangkan profesionalitas kerja.
12. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha dan pekerja pariwisata untuk mendukung peningkatan mutu produk pariwisata, pelayanan, dan
pengelolaan kepariwisataan.
13. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
14. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
15. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kepariwisataan.
BAB II . . .

- 5 -
BAB II
ASAS, FUNGSI, DAN TUJUAN
Pasal 2
Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. kekeluargaan;
c. adil dan merata;
d. keseimbangan;
e. kemandirian;
f. kelestarian;
g. partisipatif;
h. berkelanjutan;
i. demokratis;
j. kesetaraan; dan
k. kesatuan.
Pasal 3
Kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani,
rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi
dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pasal 4
Kepariwisataan bertujuan untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi;
b. meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. menghapus . . .

- 6 -
c. menghapus kemiskinan;
d. mengatasi pengangguran;
e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya;
f. memajukan kebudayaan;
g. mengangkat citra bangsa;
h. memupuk rasa cinta tanah air;
i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan
j. mempererat persahabatan antarbangsa.
BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN
Pasal 5
Kepariwisataan diselenggarakan dengan prinsip:
a. menjunjung tinggi norma agama dan nilai budaya
sebagai pengejawantahan dari konsep hidup dalam
keseimbangan hubungan antara manusia dan Tuhan
Yang Maha Esa, hubungan antara manusia dan
sesama manusia, dan hubungan antara manusia dan
lingkungan;
b. menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman
budaya, dan kearifan lokal;
c. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat,
keadilan, kesetaraan, dan proporsionalitas;
d. memelihara . . .

- 7 -
d. memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup;
e. memberdayakan masyarakat setempat;
f. menjamin keterpaduan antarsektor, antardaerah,
antara pusat dan daerah yang merupakan satu
kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah,
serta keterpaduan antarpemangku kepentingan;
g. mematuhi kode etik kepariwisataan dunia dan kesepakatan internasional dalam bidang pariwisata; dan
h. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB IV
PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN
Pasal 6
Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan
kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan,dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata.
Pasal 7
Pembangunan kepariwisataan meliputi:
a. industri pariwisata;
b. destinasi pariwisata;
c. pemasaran . . .

- 8 -
c. pemasaran; dan
d. kelembagaan kepariwisataan.
Pasal 8
(1) Pembangunan kepariwisataan dilakukan
berdasarkan rencana induk pembangunan
kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk
pembangunan kepariwisataan nasional, rencana
induk pembangunan kepariwisataan provinsi, dan
rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota.
(2) Pembangunan kepariwisataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian integral
dari rencana pembangunan jangka panjang nasional.
Pasal 9
(1) Rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah provinsi.
(3) Rencana induk pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
(4) Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan melibatkanpemangku kepentingan.
(5) Rencana . . .

- 9 -
(5) Rencana induk pembangunan kepariwisataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata,destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Pasal 10
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong
penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal
asing di bidang kepariwisataan sesuai dengan rencana
induk pembangunan kepariwisataan nasional, provinsi,dan kabupaten/kota.
Pasal 11
Pemerintah bersama lembaga yang terkait dengan kepariwisataan menyelenggarakan penelitian dan pengembangan kepariwisataan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan.
BAB V
KAWASAN STRATEGIS
Pasal 12
(1) Penetapan kawasan strategis pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek:
a. sumber . . .

- 10 -
a. sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata;
b. potensi pasar;
c. lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah;
d. perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup;
e. lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya;
f. kesiapan dan dukungan masyarakat; dan
g. kekhususan dari wilayah.
(2) Kawasan strategis pariwisata dikembangkan untuk berpartisipasi dalam terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
(3) Kawasan strategis pariwisata harus memperhatikan aspek budaya, sosial, dan agama masyarakat setempat.
Pasal 13
(1) Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas
kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan
strategis pariwisata provinsi, dan kawasan strategis
pariwisata kabupaten/kota.
(2) Kawasan . . .

- 11 -
(2) Kawasan strategis pariwisata sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan bagian integral dari rencana
tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang
wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
(3) Kawasan strategis pariwisata nasional ditetapkan
oleh Pemerintah, kawasan strategis pariwisata
provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi,
dan kawasan strategis pariwisata kabupaten/kota
ditetapkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(4) Kawasan pariwisata khusus ditetapkan dengan undang-undang.
BAB VI
USAHA PARIWISATA
Pasal 14
(1) Usaha pariwisata meliputi, antara lain:
a. daya tarik wisata;
b. kawasan pariwisata;
c. jasa transportasi wisata;
d. jasa perjalanan wisata;
e. jasa makanan dan minuman;
f. penyediaan akomodasi;
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
i. jasa . . .

- 12 -
i. jasa informasi pariwisata;
j. jasa konsultan pariwisata;
k. jasa pramuwisata;
l. wisata tirta; dan
m. spa.
(2) Usaha pariwisata selain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15
(1) Untuk dapat menyelenggarakan usaha pariwisata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, pengusaha
pariwisata wajib mendaftarkan usahanya terlebih
dahulu kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 16
Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menunda
atau meninjau kembali pendaftaran usaha pariwisata
apabila tidak sesuai dengan ketentuan tata cara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi dalam bidang usaha pariwisata dengan cara:
a. membuat . . .

- 13 -
a. membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata
untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi; dan
b. memfasilitasi kemitraan usaha mikro, kecil,
menengah, dan koperasi dengan usaha skala besar.
BAB VII
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 18
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengatur dan
mengelola urusan kepariwisataan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
(1) Setiap orang berhak:
a. memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata;
b. melakukan usaha pariwisata;
c. menjadi pekerja/buruh pariwisata; dan/atau
d. berperan dalam proses pembangunan kepariwisataan.
(2) Setiap . . .

- 14 -
(2) Setiap orang dan/atau masyarakat di dalam dan di sekitar destinasi pariwisata mempunyai hak prioritas:
a. menjadi pekerja/buruh;
b. konsinyasi; dan/atau
c. pengelolaan.
Pasal 20
Setiap wisatawan berhak memperoleh:
a. informasi yang akurat mengenai daya tarik wisata;
b. pelayanan kepariwisataan sesuai dengan standar;
c. perlindungan hukum dan keamanan;
d. pelayanan kesehatan;
e. perlindungan hak pribadi; dan
f. perlindungan asuransi untuk kegiatan pariwisata yang berisiko tinggi.
Pasal 21
Wisatawan yang memiliki keterbatasan fisik, anak-anak,
dan lanjut usia berhak mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Pasal 22
Setiap pengusaha pariwisata berhak:
a. mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan;
b. membentuk . . .

- 15 -
b. membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan;
c. mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan
d. mendapatkan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 23
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban:
a. menyediakan informasi kepariwisataan,
perlindungan hukum, serta keamanan dan
keselamatan kepada wisatawan;
b. menciptakan iklim yang kondusif untuk
perkembangan usaha pariwisata yang meliputi
terbukanya kesempatan yang sama dalam
berusaha, memfasilitasi, dan memberikan
kepastian hukum;
c. memelihara, mengembangkan, dan melestarikan
aset nasional yang menjadi daya tarik wisata dan
aset potensial yang belum tergali; dan
d. mengawasi dan mengendalikan kegiatan
kepariwisataan dalam rangka mencegah dan
menanggulangi berbagai dampak negatif bagi
masyarakat luas.
(2) Ketentuan . . .

- 16 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan
pengendalian kepariwisataan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 24
Setiap orang berkewajiban:
a. menjaga dan melestarikan daya tarik wisata; dan
b. membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih,
berperilaku santun, dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi pariwisata.
Pasal 25
Setiap wisatawan berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat;
b. memelihara dan melestarikan lingkungan;
c. turut serta menjaga ketertiban dan keamanan lingkungan; dan
d. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar hukum.
Pasal 26 . . .

- 17 -
Pasal 26
Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban:
a. menjaga dan menghormati norma agama, adat
istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat setempat;
b. memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab;
c. memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif;
d. memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan;
e. memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi;
f. mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan;
g. mengutamakan penggunaan produk masyarakat
setempat, produk dalam negeri, dan memberikan
kesempatan kepada tenaga kerja lokal;
h. meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui
pelatihan dan pendidikan;
i. berperan aktif dalam upaya pengembangan
prasarana dan program pemberdayaan masyarakat;
j. turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang
melanggar kesusilaan dan kegiatan yang melanggar
hukum di lingkungan tempat usahanya;
k. memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri;
l. memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya;
m. menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui
kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan.
menerapkan . . .

- 18 -
n. menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 27
(1) Setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata.
(2) Merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah melakukan perbuatan
mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan
spesies tertentu, mencemarkan lingkungan,
memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau
memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat
berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan
nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah.
BAB VIII
KEWENANGAN PEMERINTAH DAN PEMERINTAH
DAERAH
Pasal 28
Pemerintah berwenang:
a. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional;
b. mengoordinasikan . . .

- 19 -
b. mengoordinasikan pembangunan kepariwisataan lintas sektor dan lintas provinsi;
c. menyelenggarakan kerja sama internasional di bidang kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. menetapkan daya tarik wisata nasional;
e. menetapkan destinasi pariwisata nasional ;
f. menetapkan norma, standar, pedoman, prosedur, kriteria, dan sistem pengawasan dalam penyelenggaraan kepariwisataan;
g. mengembangkan kebijakan pengembangan sumber
daya manusia di bidang kepariwisataan;
h. memelihara, mengembangkan, dan melestarikan aset
nasional yang menjadi daya tarik wisata dan aset potensial yang belum tergali;
i. melakukan dan memfasilitasi promosi pariwisata nasional;
j. memberikan kemudahan yang mendukung kunjungan wisatawan;
k. memberikan informasi dan/atau peringatan dini yang
berhubungan dengan keamanan dan keselamatan wisatawan;
l. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan potensi wisata yang dimiliki masyarakat;
m. mengawasi, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan kepariwisataan; dan
n. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 29 . . .

- 20 -
Pasal 29
Pemerintah provinsi berwenang:
a. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi;
b. mengoordinasikan penyelenggaraan kepariwisataan di wilayahnya;
c. melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata;
d. menetapkan destinasi pariwisata provinsi;
e. menetapkan daya tarik wisata provinsi;
f. memfasilitasi promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
g. memelihara aset provinsi yang menjadi daya tarik wisata provinsi; dan
h. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 30
Pemerintah kabupaten/kota berwenang:
a. menyusun dan menetapkan rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota;
b. menetapkan destinasi pariwisata kabupaten/kota;
c. menetapkan daya tarik wisata kabupaten/kota;
d. melaksanakan pendaftaran, pencatatan, dan pendataan pendaftaran usaha pariwisata;
e. mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan kepariwisataan di wilayahnya;
f. memfasilitasi . . .

- 21 -
f. memfasilitasi dan melakukan promosi destinasi pariwisata dan produk pariwisata yang berada di wilayahnya;
g. memfasilitasi pengembangan daya tarik wisata baru;
h. menyelenggarakan pelatihan dan penelitian kepariwisataan dalam lingkup kabupaten/kota;
i. memelihara dan melestarikan daya tarik wisata yang berada di wilayahnya;
j. menyelenggarakan bimbingan masyarakat sadar wisata; dan
k. mengalokasikan anggaran kepariwisataan.
Pasal 31
(1) Setiap perseorangan, organisasi pariwisata, lembaga
pemerintah, serta badan usaha yang berprestasi luar
biasa atau berjasa besar dalam partisipasinya
meningkatkan pembangunan, kepeloporan, dan
pengabdian di bidang kepariwisataan yang dapat
dibuktikan dengan fakta yang konkret diberi
penghargaan.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh Pemerintah atau lembaga lain yang tepercaya.
(3) Penghargaan dapat berbentuk pemberian piagam,
uang, atau bentuk penghargaan lain yang bermanfaat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian
penghargaan, bentuk penghargaan, dan pelaksanaan
pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 32 . . .

- 22 -
Pasal 32
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan dan penyebarluasan informasi kepada
masyarakat untuk kepentingan pengembangan kepariwisataan.
(2) Dalam menyediakan dan menyebarluaskan informasi,
Pemerintah mengembangkan sistem informasi kepariwisataan nasional.
(3) Pemerintah Daerah dapat mengembangkan dan
mengelola sistem informasi kepariwisataan sesuai dengan kemampuan dan kondisi daerah.
BAB IX
KOORDINASI
Pasal 33
(1) Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan
kepariwisataan Pemerintah melakukan koordinasi
strategis lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan.
(2) Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian, dan karantina;
b. bidang keamanan dan ketertiban;
c. bidang prasarana umum yang mencakupi jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan;
d. bidang . . .

- 23 -
d. bidang transportasi darat, laut, dan udara; dan
e. bidang promosi pariwisata dan kerja sama luar negeri.
Pasal 34
Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 ayat (1) dipimpin oleh Presiden atau Wakil Presiden.
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja, mekanisme,
dan hubungan koordinasi strategis lintas sektor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 34 diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB X
BADAN PROMOSI PARIWISATA INDONESIA
Bagian Kesatu
Badan Promosi Pariwisata Indonesia
Pasal 36
(1) Pemerintah memfasilitasi pembentukan Badan
Promosi Pariwisata Indonesia yang berkedudukan di ibu kota negara.
(2) Badan . . .

- 24 -
(2) Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.
(3) Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 37
Struktur organisasi Badan Promosi Pariwisata Indonesia
terdiri atas 2 (dua) unsur, yaitu unsur penentu kebijakan dan unsur pelaksana.
Pasal 38
(1) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 berjumlah 9 (sembilan) orang anggota terdiri atas:
a. wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang;
b. wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang;
c. wakil asosiasi penerbangan 1 (satu) orang; dan
d. pakar/akademisi 2 (dua) orang.
(2) Keanggotaan unsur penentu kebijakan Badan
Promosi Pariwisata Indonesia diusulkan oleh Menteri
kepada Presiden untuk masa tugas paling lama 4(empat) tahun.
(3) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata
Indonesia dipimpin oleh seorang ketua dan seorang
wakil ketua yang dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Ketentuan . . .

- 25 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja,
persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan
pemberhentian unsur penentu kebijakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 39
Unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 membentuk unsur pelaksana untuk
menjalankan tugas operasional Badan Promosi
Pariwisata Indonesia.
Pasal 40
(1) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata
Indonesia dipimpin oleh seorang direktur eksekutif
dengan dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan kebutuhan.
(2) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata
Indonesia wajib menyusun tata kerja dan rencana kerja.
(3) Masa kerja unsur pelaksana Badan Promosi
Pariwisata Indonesia paling lama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja,
persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan
pemberhentian unsur pelaksana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Badan Promosi Pariwisata Indonesia.
Pasal 41 . . .

- 26 -
Pasal 41
(1) Badan Promosi Pariwisata Indonesia mempunyai tugas:
a. meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia;
b. meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa;
c. meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan;
d. menggalang pendanaan dari sumber selain
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata.
(2) Badan Promosi Pariwisata Indonesia mempunyai fungsi sebagai:
a. koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah; dan
b. mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 42
(1) Sumber pembiayaan Badan Promosi Pariwisata Indonesia berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber . . .

- 27 -
b. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan non-Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah wajib diaudit oleh
akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
Bagian Kedua
Badan Promosi Pariwisata Daerah
Pasal 43
(1) Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi
pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah yang
berkedudukan di ibu kota provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Badan Promosi Pariwisata Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga swasta dan bersifat mandiri.
(3) Badan Promosi Pariwisata Daerah dalam
melaksanakan kegiatannya wajib berkoordinasi dengan Badan Promosi Pariwisata Indonesia.
(4) Pembentukan Badan Promosi Pariwisata Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 44 . . .

- 28 -
Pasal 44
Struktur organisasi Badan Promosi Pariwisata Daerah
terdiri atas 2 (dua) unsur, yaitu unsur penentu kebijakan dan unsur pelaksana.
Pasal 45
(1) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berjumlah 9 (sembilan) orang anggota terdiri atas:
a. wakil asosiasi kepariwisataan 4 (empat) orang;
b. wakil asosiasi profesi 2 (dua) orang;
c. wakil asosiasi penerbangan 1 (satu) orang; dan
d. pakar/akademisi 2 (dua) orang.
(2) Keanggotaan unsur penentu kebijakan Badan
Promosi Pariwisata Daerah ditetapkan dengan
Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota untuk masa tugas paling lama 4 (empat) tahun.
(3) Unsur penentu kebijakan Badan Promosi Pariwisata
Daerah dipimpin oleh seorang ketua dan seorang
wakil ketua yang dibantu oleh seorang sekretaris yang dipilih dari dan oleh anggota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja,persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 46 . . .

- 29 -
Pasal 46
Unsur penentu kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 membentuk unsur pelaksana untuk menjalankan tugas operasional Badan Promosi Pariwisata Daerah.
Pasal 47
(1) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah dipimpin oleh seorang direktur eksekutif dengan dibantu oleh beberapa direktur sesuai dengan
kebutuhan.
(2) Unsur pelaksana Badan Promosi Pariwisata Daerah
wajib menyusun tata kerja dan rencana kerja.
(3) Masa kerja unsur pelaksana Badan Promosi
Pariwisata Daerah paling lama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa kerja berikutnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja,
persyaratan, serta tata cara pengangkatan dan
pemberhentian unsur pelaksana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Badan Promosi Pariwisata Daerah.
Pasal 48
(1) Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai tugas:
a. meningkatkan citra kepariwisataan Indonesia;
b. meningkatkan . . .

- 30 -
b. meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa;
c. meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan;
d. menggalang pendanaan dari sumber selain
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
e. melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata.
(2) Badan Promosi Pariwisata Daerah mempunyai fungsi sebagai:
a. koordinator promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di pusat dan daerah; dan
b. mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Pasal 49
(1) Sumber pembiayaan Badan Promosi Pariwisata Daerah berasal dari:
a. pemangku kepentingan; dan
b. sumber lainnya yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Bantuan dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah bersifat hibah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengelolaan . . .

- 31 -
(3) Pengelolaan dana yang bersumber dari non-Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan non-Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah wajib diaudit oleh
akuntan publik dan diumumkan kepada masyarakat.
BAB XI
GABUNGAN
INDUSTRI PARIWISATA INDONESIA
Pasal 50
(1) Untuk mendukung pengembangan dunia usaha
pariwisata yang kompetitif, dibentuk satu wadah
yang dinamakan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia.
(2) Keanggotaan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia terdiri atas:
a. pengusaha pariwisata;
b. asosiasi usaha pariwisata;
c. asosiasi profesi; dan
d. asosiasi lain yang terkait langsung dengan pariwisata.
(3) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai mitra kerja Pemerintah dan Pemerintah
Daerah serta wadah komunikasi dan konsultasi para
anggotanya dalam penyelenggaraan dan pembangunan kepariwisataan.
(4) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia bersifat
mandiri dan dalam melakukan kegiatannya bersifat nirlaba.
(5) Gabungan . . .

- 32 -
(5) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia melakukan kegiatan, antara lain:
a. menetapkan dan menegakkan Kode Etik Gabungan Industri Pariwisata Indonesia;
b. menyalurkan aspirasi serta memelihara kerukunan dan kepentingan anggota dalam
rangka keikutsertaannya dalam pembangunan bidang kepariwisataan;
c. meningkatkan hubungan dan kerja sama antara pengusaha pariwisata Indonesia dan pengusaha pariwisata luar negeri untuk kepentingan pembangunan kepariwisataan;
d. mencegah persaingan usaha yang tidak sehat di bidang pariwisata; dan
e. menyelenggarakan pusat informasi usaha dan menyebarluaskan kebijakan Pemerintah di bidang kepariwisataan.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, keanggotaan,susunan kepengurusan, dan kegiatan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
BAB XII . . .

- 33 -
BAB XII
PELATIHAN SUMBER DAYA MANUSIA, STANDARDISASI,
SERTIFIKASI, DAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Pelatihan Sumber Daya Manusia
Pasal 52
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan
pelatihan sumber daya manusia pariwisata sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Standardisasi dan Sertifikasi
Pasal 53
(1) Tenaga kerja di bidang kepariwisataan memiliki standar kompetensi.
(2) Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi.
(3) Sertifikasi kompetensi dilakukan oleh lembaga
sertifikasi profesi yang telah mendapat lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 54
(1) Produk, pelayanan, dan pengelolaan usaha
pariwisata memiliki standar usaha.
(2) Standar . . .

- 34 -
(2) Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui sertifikasi usaha.
(3) Sertifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh lembaga mandiri yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan sertifikasi
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Tenaga Kerja Ahli Warga Negara Asing
Pasal 56
(1) Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan tenaga
kerja ahli warga negara asing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Tenaga kerja ahli warga negara asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu mendapat
rekomendasi dari organisasi asosiasi pekerja
profesional kepariwisataan.
BAB XIII . . .

- 35 -
BAB XIII
PENDANAAN
Pasal 57
Pendanaan pariwisata menjadi tanggung jawab bersama
antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, pengusaha, dan masyarakat.
Pasal 58
Pengelolaan dana kepariwisataan dilakukan berdasarkan
prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Pasal 59
Pemerintah Daerah mengalokasikan sebagian dari
pendapatan yang diperoleh dari penyelenggaraan
pariwisata untuk kepentingan pelestarian alam dan budaya.
Pasal 60
Pendanaan oleh pengusaha dan/atau masyarakat dalam
pembangunan pariwisata di pulau kecil diberikan insentif yang diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 61 . . .

- 36 -
Pasal 61
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memberikan peluang
pendanaan bagi usaha mikro dan kecil di bidang kepariwisataan.
BAB XIV
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 62
(1) Setiap wisatawan yang tidak mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai
sanksi berupa teguran lisan disertai dengan
pemberitahuan mengenai hal yang harus dipenuhi.
(2) Apabila wisatawan telah diberi teguran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan tidak diindahkannya,
wisatawan yang bersangkutan dapat diusir dari lokasi perbuatan dilakukan.
Pasal 63
(1) Setiap pengusaha pariwisata yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
dan/atau Pasal 26 dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha; dan
c. pembekuan sementara kegiatan usaha.
(3) Teguran . . .

- 37 -
(3) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dikenakan kepada pengusaha paling banyak
3 (tiga) kali.
(4) Sanksi pembatasan kegiatan usaha dikenakan
kepada pengusaha yang tidak mematuhi teguran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Sanksi pembekuan sementara kegiatan usaha
dikenakan kepada pengusaha yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4).
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 64
(1) Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum
merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya dan melawan
hukum, merusak fisik, atau mengurangi nilai daya
tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
BAB XVI . . .

- 38 -
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 65
Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) harus telah dibentuk
paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66
(1) Pembentukan Gabungan Industri Pariwisata
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 untuk pertama kalinya difasilitasi oleh Pemerintah.
(2) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah
dibentuk dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 67
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah
ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 68 . . .

- 39 -
Pasal 68
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3427) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 69
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor
3427), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 70
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .

- 40 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 11
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan

Undang_Undang Kepemudaan

UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2009
TENTANG KEPEMUDAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia
sejak perintisan pergerakan kebangsaan Indonesia,
pemuda berperan aktif sebagai ujung tombak dalam
mengantarkan bangsa dan negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, dan berdaulat;
b. bahwa dalam pembaruan dan pembangunan bangsa,
pemuda mempunyai fungsi dan peran yang sangat
strategis sehingga perlu dikembangkan potensi dan
perannya melalui penyadaran, pemberdayaan, dan
pengembangan sebagai bagian dari pembangunan
nasional;
c. bahwa untuk mewujudkan tujuan pembangunan
nasional, diperlukan pemuda yang berakhlak mulia,
sehat, tangguh, cerdas, mandiri, dan profesional;
d. bahwa untuk membangun pemuda, diperlukan
pelayanan kepemudaan dalam dimensi pembangunan
di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Kepemudaan;
Mengingat: . . .

- 2 -
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27, Pasal 28C, dan Pasal
31 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEPEMUDAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemuda adalah warga negara Indonesia yang
memasuki periode penting pertumbuhan dan
perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai
30 (tiga puluh) tahun.
2. Kepemudaan adalah berbagai hal yang berkaitan
dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter,
kapasitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda.
3. Pembangunan kepemudaan adalah proses
memfasilitasi segala hal yang berkaitan dengan
kepemudaan.
4. Pelayanan kepemudaan adalah penyadaran,
pemberdayaan, dan pengembangan kepemimpinan,
kewirausahaan, serta kepeloporan pemuda.
5. Penyadaran pemuda adalah kegiatan yang
diarahkan untuk memahami dan menyikapi
perubahan lingkungan.
6. Pemberdayaan . . .

- 3 -
6. Pemberdayaan pemuda adalah kegiatan
membangkitkan potensi dan peran aktif pemuda.
7. Pengembangan kepemimpinan pemuda adalah
kegiatan mengembangkan potensi keteladanan,
keberpengaruhan, serta penggerakan pemuda.
8. Pengembangan kewirausahaan pemuda adalah
kegiatan mengembangkan potensi keterampilam
dan kemandirian berusaha.
9. Pengembangan kepeloporan pemuda adalah
kegiatan mengembangkan potensi dalam merintis
jalan, melakukan terobosan, menjawab tantangan,
dan memberikan jalan keluar atas pelbagai
masalah.
10. Kemitraan adalah kerja sama untuk membangun
potensi pemuda dengan prinsip saling
membutuhkan, saling memperkuat, dan saling
menguntungkan.
11. Organisasi kepemudaan adalah wadah
pengembangan potensi pemuda.
12. Penghargaan adalah pengakuan atas prestasi
dan/atau jasa di bidang kepemudaan yang
diwujudkan dalam bentuk materiel dan/atau
nonmateriel.
13. Masyarakat adalah warga negara Indonesia yang
mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang
kepemudaan.
14. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah . . .

- 4 -
15. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
16. Menteri adalah menteri yang bertanggungjawab
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kepemudaan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Kepemudaan dibangun berdasarkan asas:
a. Ketuhanan Yang Maha Esa;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kebhinekaan;
e. demokratis;
f. keadilan;
g. partisipatif;
h. kebersamaan;
i. kesetaraan; dan
j. kemandirian
Pasal 3
Pembangunan kepemudaan bertujuan untuk
terwujudnya pemuda yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis,
bertanggungjawab, berdaya saing, serta memiliki jiwa
kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan, dan
kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 4 . . .

- 5 -
Pasal 4
Pembangunan kepemudaan dilaksanakan dalam bentuk
pelayanan kepemudaan.
BAB III
FUNGSI, KARAKTERISTIK, ARAH, DAN STRATEGI
PELAYANAN KEPEMUDAAN
Pasal 5
Pelayanan kepemudaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 berfungsi melaksanakan penyadaran,
pemberdayaan, dan pengembangan potensi
kepemimpinan, kewirausahaan, serta kepeloporan
pemuda dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Pasal 6
Pelayanan kepemudaan dilaksanakan sesuai dengan
karakteristik pemuda, yaitu memiliki semangat
kejuangan, kesukarelaan, tanggungjawab, dan ksatria,
serta memiliki sifat kritis, idealis, inovatif, progresif,
dinamis, reformis, dan futuristik.
Pasal 7
Pelayanan kepemudaan diarahkan untuk:
a. menumbuhkan patriotisme, dinamika, budaya
prestasi, dan semangat profesionalitas; dan
b. meningkatkan . . .

- 6 -
b. meningkatkan partisipasi dan peran aktif pemuda
dalam membangun dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.
Pasal 8
(1) Pelayanan kepemudaaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a dilakukan melalui strategi:
a. bela negara;
b. kompetisi dan apresiasi pemuda;
c. peningkatan dan perluasan memperoleh
peluang kerja sesuai potensi dan keahlian yang
dimiliki; dan
d. pemberian kesempatan yang sama untuk
berekspresi, beraktivitas, dan berorganisasi
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pelayanan kepemudaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b dilakukan melalui strategi:
a. peningkatan kapasitas dan kompetensi
pemuda;
b. pendampingan pemuda;
c. perluasan kesempatan memperoleh dan
meningkatkan pendidikan serta ketera mpilan; dan
d. penyiapan kader pemuda dalam menjalankan
fungsi advokasi dan mediasi yang dibutuhkan lingkungannya.
Pasal 9
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
berkewajiban untuk bersinergi dalam melaksanakan
pelayanan kepemudaan.
BAB IV . . .

- 7 -
BAB IV
TUGAS, WEWENANG, DAN TANGGUNGJAWAB
PEMERINTAH, DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 10
(1) Pemerintah mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kepemudaan dalam
rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi
program pemerintah;
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan fungsi
di bidang kepemudaan yang meliputi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan;
b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara
yang menjadi tanggung jawabnya; dan
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas.
Pasal 11
(1) Pemerintah daerah mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan nasional dan menetapkan
kebijakan di daerah sesuai dengan kewenangannya
serta mengoordinasikan pelayanan kepemudaan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemerintah daerah membentuk
perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan
kepemudaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
Pasal 12 . . .

- 8 -
Pasal 12
(1) Pemerintah mempunyai wewenang menetapkan
kebijakan nasional dan koordinasi untuk
menyelenggarakan pelayanan kepemudaan.
(2) Pemerintah daerah mempunyai wewenang
menetapkan dan melaksanakan kebijakan dalam
rangka menyelenggarakan pelayanan kepemudaan
di daerah.
Pasal 13
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggungjawab
melaksanakan penyadaran, pemberdayaan, dan
pengembangan potensi pemuda berdasarkan
kewenangan dan tanggungjawabnya sesuai dengan
karakteristik dan potensi daerah masing-masing.
Pasal 14
(1) Tugas, wewenang, dan tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, dan Pasal 13 dilaksanakan oleh Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota.
(2) Menteri dalam melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengoordinasikan kebijakan dan program di bidang
kepemudaan dengan kementerian atau lembaga
pemerintah nonkementerian, lembaga
nonpemerintah, dan/atau pemerintah daerah, serta
unsur terkait lainnya.
Pasal 15 . . .

- 9 -
Pasal 15
Menteri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan
tanggung jawab pelayanan kepemudaan dapat
melakukan kerjasama dengan negara lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PERAN, TANGGUNG JAWAB, DAN HAK PEMUDA
Pasal 16
Pemuda berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol
sosial, dan agen perubahan dalam segala aspek
pembangunan nasional.
Pasal 17
(1) Peran aktif pemuda sebagai kekuatan moral
diwujudkan dengan:
a. menumbuhkembangkan aspek etik dan
moralitas dalam bertindak pada setiap dimensi
kehidupan kepemudaan;
b. memperkuat iman dan takwa serta ketahanan
mental-spiritual; dan/atau
c. meningkatkan kesadaran hukum.
(2) Peran aktif pemuda sebagai kontrol sosial
diwujudkan dengan:
a. memperkuat wawasan kebangsaan;
b. membangkitkan kesadaran atas
tanggungjawab, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
c. membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan dan penegakan hukum;
d. meningkatkan . . .

- 10 -
d. meningkatkan partisipasi dalam perumusan kebijakan publik;
e. menjamin transparansi dan akuntabilitas publik; dan/atau
f. memberikan kemudahan akses informasi.
(3) Peran aktif pemuda sebagai agen perubahan
diwujudkan dengan mengembangkan:
a. pendidikan politik dan demokratisasi;
b. sumberdaya ekonomi;
c. kepedulian terhadap masyarakat;
d. ilmu pengetahuan dan teknologi;
e. olahraga, seni, dan budaya;
f. kepedulian terhadap lingkungan hidup;
g. pendidikan kewirausahaan; dan/atau
h. kepemimpinan dan kepeloporan pemuda.
Pasal 18
Dalam rangka pelaksanaan peran aktif pemuda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17,
Pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum,
organisasi kemasyarakatan, dan pelaku usaha memberi
peluang, fasilitas, dan bimbingan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 19
Pemuda bertanggungjawab dalam pembangunan
nasional untuk:
a. menjaga Pancasila sebagai ideologi negara;
b. menjaga tetap tegak dan utuhnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
c. memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa;
d. melaksanakan konstitusi, demokrasi, dan tegaknya hukum;
e. meningkatkan . . .

- 11 -
e. meningkatkan kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat;
f. meningkatkan ketahanan budaya nasional; dan/atau
g. meningkatkan daya saing dan kemandirian ekonomi bangsa
Pasal 20
Setiap pemuda berhak mendapatkan:
a. perlindungan, khususnya dari pengaruh destruktif;
b. pelayanan dalam penggunaan prasarana dan sarana kepemudaaan tanpa diskriminasi;
c. advokasi;
d. akses untuk pengembangan diri; dan
e. kesempatan berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan
pengambilan keputusan strategis program kepemudaan.
Pasal 21
Setiap pemuda yang berprestasi berhak mendapatkan
penghargaan.
BAB VI
PENYADARAN
Pasal 22
(1) Penyadaran kepemudaan berupa gerakan pemuda
dalam aspek ideologi, politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya, pertahanan, dan keamanan dalam
memahami dan menyikapi perubahan lingkungan
strategis, baik domestik maupun global serta
mencegah dan menangani risiko.
(2) Penyadaran . . .

- 12 -
(2) Penyadaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, dan organisasi kepemudaan.
Pasal 23
Penyadaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
diwujudkan melalui:
a. pendidikan agama dan akhlak mulia;
b. pendidikan wawasan kebangsaan;
c. penumbuhan kesadaran mengenai hak dan
kewajiban dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
d. penumbuhan semangat bela negara;
e. pemantapan kebudayaan nasional yang berbasis
kebudayaan lokal;
f. pemahaman kemandirian ekonomi; dan/atau
g. penyiapan proses regenerasi di berbagai bidang;
BAB VII
PEMBERDAYAAN
Pasal 24
(1) Pemberdayaan pemuda dilaksanakan secara
terencana, sistematis, dan berkelanjutan untuk
meningkatkan potensi dan kualitas jasmani, mental
spiritual, pengetahuan, serta keterampilan diri dan
organisasi menuju kemandirian pemuda.
(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, dan organisasi kepemudaan.
Pasal 25 . . .

- 13 -
Pasal 25
Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
dilakukan melalui:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. penyelenggaraan pendidikan bela negara dan ketahanan nasional;
d. peneguhan kemandirian ekonomi pemuda;
e. peningkatan kualitas jasmani, seni, dan budaya pemuda; dan/atau
f. penyelenggaraan penelitian dan pendampingan
kegiatan kepemudaan.
BAB VIII
PENGEMBANGAN
Bagian Kesatu
Pengembangan Kepemimpinan
Pasal 26
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan
kebijakan strategis pengembangan kepemimpinan
pemuda sesuai dengan arah pembangunan
nasional.
(2) Pelaksanaan pengembangan kepemimpinan pemuda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
dan/atau organisasi kepemudaan.
(3) Pengembangan kepemimpinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui:
a. pendidikan;
b. pelatihan;
c. pengaderan . . .

- 14 -
c. pengaderan;
d. pembimbingan;
e. pendampingan; dan/atau
f. forum kepemimpinan pemuda.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
kepemimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pengembangan Kewirausahaan
Pasal 27
(1) Pengembangan kewirausahaan pemuda
dilaksanakan sesuai dengan minat, bakat, potensi
pemuda, potensi daerah, dan arah pembangunan
nasional.
(2) Pelaksanaan pengembangan kewirausahaan
pemuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, dan/atau organisasi kepemudaan.
(3) Pengembangan kewirausahaan pemuda
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui:
a. pelatihan;
b. pemagangan;
c. pembimbingan;
d. pendampingan;
e. kemitraan;
f. promosi; dan/atau
g. bantuan akses permodalan
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
kewirausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 28 . . .

- 15 -
Pasal 28
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat
dapat membentuk dan mengembangkan pusat-pusat
kewirausahaan pemuda.
Bagian Ketiga
Pengembangan Kepeloporan
Pasal 29
(1) Pengembangan kepeloporan pemuda dilaksanakan
untuk mendorong kreativitas, inovasi, keberanian
melakukan terobosan, dan kecepatan mengambil
keputusan sesuai dengan arah pembangunan
nasional.
(2) Pengembangan kepeloporan pemuda difasilitasi oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat,
dan/atau organisasi kepemudaan.
(3) Pengembangan kepeloporan pemuda dilaksanakan melalui:
a. pelatihan,
b. pendampingan, dan/atau
c. forum kepemimpinan pemuda.
(4) Pengembangan kepeloporan pemuda dapat
dilaksanakan sesuai dengan karakteristik daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan
kepeloporan pemuda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB IX . . .

- 16 -
BAB IX
KOORDINASI DAN KEMITRAAN
Pasal 30
(1) Pemerintah wajib melakukan koordinasi strategis
lintas sektor untuk mengefektifkan penyelenggaraan
pelayanan kepemudaan.
(2) Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
a. program sinergis antar sektor dalam hal
penyadaran, pemberdayaan, serta
pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan,
dan kepeloporan pemuda;
b. kajian dan penelitian bersama tentang
persoalan pemuda; dan
c. kegiatan mengatasi dekadensi moral,
pengangguran, kemiskinan, dan kekerasan
serta narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Pasal 31
Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dipimpin oleh Presiden.
Pasal 32
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan organisasi
kepemudaan dapat melaksanakan kemitraan
berbasis program dalam pelayanan kepemudaan.
(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan prinsip
kesetaraan, akuntabilitas, dan saling memberi
manfaat.
(3) Kemitraan . . .

- 17 -
(3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dapat dilakukan pada tingkat lokal,
nasional, dan internasional.
Pasal 33
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi
terselenggaranya kemitraan secara sinergis antara
pemuda dan/atau organisasi kepemudaan dan dunia
usaha.
Pasal 34
(1) Organisasi kepemudaan dapat melaksanakan
kemitraan dengan organisasi kepemudaan negara lain.
(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB X
PRASARANA DAN SARANA KEPEMUDAAN
Pasal 35
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
menyediakan prasarana dan sarana kepemudaan
untuk melaksanakan pelayanan kepemudaan.
(2) Organisasi kepemudaan dan masyarakat dapat
menyediakan prasarana dan sarana kepemudaan.
(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat
bekerja sama dengan organisasi kepemudaan dan
masyarakat dalam penyediaan prasarana dan
sarana kepemudaan.
(4) Ketentuan . . .

- 18 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan
prasarana dan sarana kepemudaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam
pelaksanaan perencanaan tata ruang wilayah
nasional, propinsi, dan kabupaten/kota
menyediakan ruang untuk prasarana kepemudaan.
(2) Penyediaan ruang untuk prasarana kepemudaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 37
(1) Dalam hal di suatu wilayah telah terdapat
prasarana kepemudaan, Pemerintah atau
pemerintah daerah wajib mempertahankan
keberadaan dan mengoptimalkan penggunaan
prasarana kepemudaan.
(2) Dalam hal terdapat pengembangan tata ruang atau
tata kota yang mengakibatkan prasarana
kepemudaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dianggap tidak layak lagi, Pemerintah atau
pemerintah daerah dapat memindahkan ke tempat
yang lebih layak dan strategis.
Pasal 38
Pengelolaan prasarana kepemudaan yang telah menjadi
barang milik negara atau milik daerah dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 39 . . .

- 19 -
Pasal 39
Pemerintah, pemerintah daerah, organisasi kepemudaan,
dan masyarakat memelihara setiap prasarana dan
sarana kepemudaan.
BAB XI
ORGANISASI KEPEMUDAAN
Pasal 40
(1) Organisasi kepemudaan dibentuk oleh pemuda.
(2) Organisasi kepemudaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dibentuk berdasarkan
kesamaan asas, agama, ideologi, minat dan bakat,
atau kepentingan, yang tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Organisasi kepemudaan juga dapat dibentuk dalam
ruang lingkup kepelajaran dan kemahasiswaan.
(4) Organisasi kepemudaan berfungsi untuk
mendukung kepentingan nasional, memberdayakan
potensi, serta mengembangkan kepemimpinan,
kewirausahaan, dan kepeloporan.
Pasal 41
(1) Organisasi kepelajaran dan kemahasiswaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3)
berfungsi untuk mendukung kesempurnaan
pendidikan dan memperkaya kebudayaan nasional.
(2) Organisasi kepelajaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan organisasi ekstrasatuan
pendidikan menengah.
(3) Organisasi . . .

- 20 -
(3) Organisasi kemahasiswaan sebagaiman a dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas organisasi intrasatuan dan
ekstrasatuan pendidikan tinggi.
Pasal 42
Organisasi kepelajaran dan kemahasiswaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ditujukan untuk:
a. mengasah kematangan intelektual;
b. meningkatkan kreativitas;
c. menumbuhkan rasa percaya diri;
d. meningkatkan daya inovasi;
e. menyalurkan minat bakat; dan/atau
f. menumbuhkan semangat kesetiakawanan sosial dan pengabdian kepada masyarakat.
Pasal 43
Organisasi kepemudaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 sekurang-kurangnya memiliki:
a. keanggotaan;
b. kepengurusan;
c. tata laksana kesekretariatan dan keuangan; dan
d. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Pasal 44
Organisasi kepemudaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dapat berbentuk struktural atau nonstruktural,
baik berjenjang maupun tidak berjenjang.
Pasal 45
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
memfasilitasi organisasi kepemudaan, organisasi
kepelajaran, dan organisasi kemahasiswaan.
(2) Satuan . . .

- 21 -
(2) Satuan pendidikan dan penyelenggara pendidikan
wajib memfasilitasi organisasi kepelajaran dan
kemahasiswaan sesuai dengan ruang lingkupnya.
Pasal 46
Organisasi kepemudaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 dapat membentuk forum komunikasi
kepemudaan atau berhimpun dalam suatu wadah.
BAB XII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 47
(1) Masyarakat mempunyai tanggungjawab, hak, dan
kewajiban dalam berperan serta melaksanakan
kegiatan untuk mewujudkan tujuan pelayanan
kepemudaan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan:
a. melakukan usaha pelindungan pemuda dari pengaruh buruk yang merusak;
b. melakukan usaha pemberdayaan pemuda sesuai dengan tuntutan masyarakat;
c. melatih pemuda dalam pengembangan kepemimpinan, kewirausahaan, dan kepeloporan;
d. menyediakan prasarana dan sarana pengembangan diri pemuda; dan/atau
e. menggiatkan gerakan cinta lingkungan hidup dan solidaritas sosial di kalangan pemuda.
BAB XIII . . .

- 22 -
BAB XIII
PENGHARGAAN
Pasal 48
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada:
a. pemuda yang berprestasi; dan
b. organisasi pemuda, organisasi kemasyarakatan, lembaga pemerintahan,
badan usaha, kelompok masyarakat, dan perseorangan yang berjasa dan/atau berprestasi dalam memajukan potensi pemuda.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk gelar, tanda jasa, beasiswa, pemberian fasilitas, pekerjaan, asuransi dan jaminan hari tua, dan/atau bentuk penghargaan lainnya yang bermanfaat.
(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan oleh badan usaha, kelompok masyarakat, atau perseorangan.
(4) Pemberian penghargaan sebagaiman a dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XIV
PENDANAAN
Pasal 49
(1) Pendanaan pelayanan kepemudaan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, organisasi kepemudaan, dan masyarakat.
(2) Sumber . . .

- 23 -
(2) Sumber pendanaan bagi pelayanan kepemudaan diperoleh dari Pemerintah dan pemerintah daerah yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(3) Selain sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pendanaan pelayanan kepemudaan dapat diperoleh dari organisasi kepemudaan,
masyarakat, dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 50
Pengelolaan dana pelayanan kepemudaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dilakukan berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Pasal 51
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan dana untuk mendukung pelayanan kepemudaan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan dana dan akses permodalan untuk mendukung pengembangan kewirausahaan pemuda.
(3) Dalam hal akses permodalan untuk mendukung pengembangan kewirausahaan pemuda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintahmembentuk lembaga permodalan kewirausahaan pemuda.
(4) Ketentuan . . .

- 24 -
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, personalia, dan mekanisme kerja lembaga permodalan kewirausahaan pemuda sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, organisasi
kepemudaan dan yang terkait dengan pelayanan
kepemudaan harus menyesuaikan dengan ketentuan
Undang-Undang ini paling lama 4 (empat) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 54
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .

- 25 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 148
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan

PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2009
TENTANG
KEPEMUDAAN
I. UMUM
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan
nasional tersebut, pemuda mempunyai peran penting sebagai salah satu
penentu dan subjek bagi tercapainya tujuan nasional.
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah mencatat peran penting
pemuda yang dimulai dari pergerakan Budi Utomo tahun 1908, Sumpah
Pemuda tahun 1928, Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, pergerakan
pemuda, pelajar, dan mahasiswa tahun 1966, sampai dengan pergerakan
mahasiswa pada tahun 1998 yang telah membawa bangsa Indonesia
memasuki masa reformasi. Hal ini membuktikan bahwa pemuda mampu
berperan aktif sebagai garda terdepan dalam proses perjuangan,
pembaruan, dan pembangunan bangsa.
Dalam proses pembangunan bangsa, pemuda merupakan kekuatan
moral, kontrol sosial, dan agen perubahan sebagai perwujudan dari
fungsi, peran, karakteristik, dan kedudukannya yang strategis dalam
pembangunan nasional. Untuk itu, tanggung jawab dan peran strategis
pemuda di segala dimensi pembangunan perlu ditingkatkan dalam
kerangka hukum nasional sesuai dengan nilai yang terkandung di dalam
Pancasila dan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dengan berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan . . .

- 2 -
kemanusiaan, kebangsaan, kebhinekaan, demokratis, keadilan,
partisipatif, kebersamaan, kesetaraan, dan kemandirian.
Guna memenuhi harapan tersebut, diperlukan pengaturan dan
penataan pembangunan nasional kepemudaan yang berorientasi pada
pelayanan kepemudaan untuk mewujudkan pemuda Indonesia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki akhlak
mulia, sehat, cerdas, kreatif, inovatif, mandiri, demokratis,
bertanggungjawab, dan berdaya saing. Dalam pelaksanaannya, pelayanan
kepemudaan berfungsi menyadarkan, memberdayakan, dan
mengembangkan potensi pemuda dalam bidang kepemimpinan,
kewirausahaan, dan kepeloporan.
Pelayanan kepemudaan dikembangkan sesuai dengan karakteristik
pemuda yang memiliki semangat kejuangan, sifat kritis, idealis, inovatif,
progresif, dinamis, reformis, dan futuristik tanpa meninggalkan akar
budaya bangsa Indonesia yang tercermin dalam kebhinekatunggalikaan.
Oleh karena itu, proses pelayanan kepemudaan harus dipersiapkan
secara komprehensif integral dengan terlebih dahulu menyusun dan
menetapkan (i) strategi pelayanan kepemudaan; (ii) tugas, fungsi,
wewenang, serta tanggungjawab Pemerintah dan pemerintah daerah; dan
(iii) peran, tanggung jawab, dan hak pemuda.
Kebijakan pelayanan kepemudaan mempunyai arah untuk
meningkatkan pertisipasi dan peran aktif pemuda dalam membangun
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Selain itu, kebijakan pelayanan
kepemudaan juga diarahkan untuk menumbuhkan patriotisme, dinamika,
budaya prestasi, dan semangat profesionalitas dalam rangka mencapai
pemuda yang maju, yaitu pemuda yang berkarakter, berkapasitas, dan
berdaya saing.
Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memperkuat posisi dan
kesempatan kepada setiap warga negara yang berusia 16 (enam belas)
sampai 30 (tiga puluh) tahun untuk mengembangkan potensi, kapasitas,
aktualisasi diri, dan cita-citanya. Di samping itu, Undang-Undang ini
memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas eksistensi
serta aktivitas kepemudaan. Undang-Undang ini juga memberikan
kepastian hukum bagi Pemerintah dan pemerintah daerah untuk
mengintegrasikan program pelayanan kepemudaan.
Undang-Undang . . .

- 3 -
Undang-Undang ini memuat pengaturan mengenai segala aspek
pelayanan kepemudaan yang berkaitan dengan koordinasi dan kemitraan,
prasarana dan sarana, dan organisasi kepemudaan. Selain itu, juga
memuat pengaturan mengenai peran serta masyarakat dalam pelayanan
kepemudaan, pemberian penghargaan, pendanaan, serta akses
permodalan bagi kegiatan kewirausahaan pemuda secara terencana,
terpadu, terarah, dan berkelanjutan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas Ketuhanan Yang Maha Esa”
adalah bahwa pembangunan kepemudaan menjamin
kebebasan pemuda untuk menjalankan kehidupan beragama
menurut iman dan kepercayaan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan memberikan perlindungan dan
penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap pemuda secara proporsional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan menumbuhkan semangat
kebangsaan dan nasionalisme di kalangan pemuda serta
menjamin utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kebhinekaan” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku, golongan, kondisi khusus daera h,
dan budaya, khususnya yang menyangkut masalah-masalah
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Huruf e . . .

- 4 -
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas demokratis” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan menghidupkan dan
menumbuhkembangkan semangat musyawarah untuk
mufakat, kegotongroyongan, serta kompetisi sehat dalam
memecahkan permasalahan dan mencari jalan keluar
terhadap permasalahan yang dihadapi pemuda.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan memberikan kesamaan
kesempatan dan perlakuan kepada setiap warga negara
sesuai dengan proporsinya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan menjamin keikutsertaan pemuda
secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas kebersamaan” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan menjamin pemuda untuk
bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat di
dalam pelayanan kepemudaan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas kesetaraan” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan menjamin pemuda untuk
mendapatkan kesamaan dalam pelayanan.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah bahwa
pembangunan kepemudaan menumbuhkan kemampuan
pemuda untuk berdiri sendiri dengan kekuatan sendiri tanpa
bergantung pada pihak lain.
Pasal 3 . . .

- 5 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “bersinergi” a dalah pola hubungan kerja
sama yang saling mendukung, melengkapi, dan menguatkan antara
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
pelaksanaan pelayanan kepemudaan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16 . . .

- 6 -
Pasal 16
Yang dimaksud dengan “kekuatan moral” adalah bahwa peran aktif
pemuda mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “pemberian peluang, fasilitas dan
bimbingan” adalah pelayanan yang dilakukan, antara lain, melalui
pendidikan dan pelatihan di bidang kewirausahaan, wawasan
kebangsaan, kewaspadaan nasional, bela negara, serta pertukaran
pemuda antarnegara.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengaruh destruktif” antara lain
bahaya narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, seks
bebas, HIV/AIDS, pornografi dan pornoaksi, prostitusi,
perdagangan manusia, ancaman menurunnya kualitas moral,
konflik sosial, perpecahan bangsa, serta hilangnya komitmen
dan rasa kebangsaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 21 . . .

- 7 -
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “pemuda yang berprestasi” adalah setiap
pemuda yang telah menghasilkan dan memberikan sesuatu yang
berdaya guna serta berhasil guna bagi masyarakat, bangsa, dan
negara.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Pemberdayaan pemuda dalam ketentuan ini mencakup
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, serta
pertahanan dan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32 . . .

- 8 -
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kemitraan berbasis program” adalah
kerja sama sinergis lintas sektor yang disesuaikan dengan
program-program pelayanan kepemudaan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Prasarana kepemudaan, antara lain, terdiri atas sentra
pemberdayaan pemuda, koperasi pemuda, pondok pemuda,
gelanggang pemuda, dan pusat pendidikan dan pelatihan
pemuda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-
undangan” antara lain undang-undang yang mengatur
mengenai penataan ruang.
Pasal 37 . . .

- 9 -
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ruang lingkup kepelajaran dan
kemahasiswaan” adalah pelajar dan mahasiswa yang sedang
menempuh pendidikan pada satuan pendidikan masing-
masing.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Yang dimaksud dengan “organisasi kepemudaan berbentuk
struktural” adalah organisasi kepemudaan yang terikat dengan
struktur organisasi sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga organisasi atau sejenisnya.
Yang dimaksud dengan “organisasi kepemudaan yang berbentuk
nonstruktural” adalah organisasi kepemudaan yang tidak terikat
dengan struktur organisasi, misalnya, kelompok diskusi, kelompok
pecinta alam, serta kelompok minat dan bakat.
Yang dimaksud . . .

- 10 -
Yang dimaksud dengan “organisasi kepemudaan berjenjang” adalah
organisasi kepemudaan yang memiliki jenjang kepengurusan mulai
dari tingkat nasional sampai tingka t terendah yang ada di
bawahnya.
Yang dimaksud dengan “organisasi pemuda yang tidak berjenjang”
adalah organisasi kepemudaan yang tidak memiliki jenjang
kepengurusan, misalnya organisasi yang hanya ada pada tingkat
nasional atau tingkat daerah.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wajib memfasilitasi” adalah bahwa
pemerintah menyediakan prasarana dan sarana dan/atau
dukungan dana kepada organisasi kepemudaan, organisasi
kepelajaran, dan organisasi kemahasiswaan yang berbadan
hukum dan/atau terdaftar pada lembaga pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bentuk penghargaan lainnya yang
bermanfaat” adalah bentuk apresiasi yang dapat berupa
antara lain pemberian rekomendasi, bantuan, dan subsidi
untuk stimulus kegiatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49 . . .

- 11 -
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sumber lain yang sah” antara lain
hibah, pinjaman, dan/atau sumbangan.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wajib menyediakan dana” adalah
mengalokasikan dana dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara serta anggaran dan pendapatan belanja
daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “wajib menyediakan dana untuk
mendukung pengembangan kewirausahaan pemuda” adalah
bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
mengalokasikan dana bagi lembaga permodalan
kewirausahaan pemuda.
Yang dimaksud dengan “akses permodalan” adalah
memfasilitasi bantuan kredit dan/atau penyertaan modal dari
lembaga permodalan bagi kegiatan pengembangan
kewirausahaan pemuda.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53 . . .

- 12 -
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5067